Pengertian
Memang ada beberapa merek yang kurang kita kenal membuat subwoofer pasif dan menambahkan crossover pasif di dalamnya. Akan tetapi ternyata crossover pasif ini tidak menolong banyak, malah menghabiskan power. Pendapat semacam ini sebenarnya karena kita kurang mengerti crossover secara lebih mendalam.
Banyak orang salah mengartikan pemberian crossover di dalam subwoofer dianggap bermanfaat, tetapi malah merugikan, karena menghambat suara dan membuat panas crossover pasif tersebut saja. Di samping itu kemiringan filter yang di dapat juga kurang memuaskan, hanya sebanyak 18 dB per oktaf saja.
Tanpa Suara Hentakan
Ketidak hadiran suara hentakan dari sebuah subwoofer, dapat disebabakan oleh berbagai faktor, di antaranya adalah sebagai berikut :
�Penempatan subwoofer yang salah, di sudut ruangan sehingga bergaung.
� Pemilihan jenis subwoofer yang salah, tidak sesuai peruntukkannya, atau desain subwoofer yang salah.
� Selisih fasa antara subwoofer dengan speaker full range pada titik perpotongan frekuensi (crossover point).
� Kecuraman dari filter pada titik perpotongan frekuensi.
� Komponen atau isi dari subwoofer yang tidak sesuai dengan box maupun peruntukkannya.
� Polaritas subwoofer atau speaker full range yang salah.
� Posisi pendengar berada di tempat yang salah, pada area di mana suara rendah justru saling menghilangkan (canceling).
� Jumlah dan jarak antar subwoofer.
� Besarnya power dan karakter power ampli yang kita pergunakan.
Masih banyak lagi faktor lainnya yang dapat kita kumpulkan mengenai permasalahan suara sebuah subwoofer. Saat ini penulis hanya akan memfokuskan kita pada langkah yang paling utama, yaitu pada polaritas dari subwoofer dan fullrange saja, untuk permasalahan lainnya akan penulis bahas pada kesempatan berikutnya.
Polaritas Acuan
Mengapa harus polaritas? Bagaimana dengan polaritas subwoofer? Apakah polaritas subwoofer harus sama dengan polaritas speaker full range? Atau haruskah polaritas subwoofer terbalik dari polaritas speaker full range? Ini semua adalah pertanyaan yang timbul pada saat kita akan memasang sebuah subwoofer dan sebuah speaker full range, polaritas siapakah yang akan kita jadikan acuan? Apa itu polaritas? Polaritas adalah posisi kutub positif dan kutub negatif dari kabel yang menghantarkan arus maupun sinyal antar alat sound sistem, apakah posisi sambungan terseubut akan membuat komponen speaker bergerak maju atau malah bergerak mundur. Daun speaker siapa yang harus bergerak maju? Apakah daun woofer speaker full range? Apakah daun woofer subwoofer? Atau kedua-duanya?
Dari sekian banyak kasus dan pengalaman penulis, penulis hanya akan memusatkan perhatian pda polaritas woofer dari speaker full range secara khusus. Mengapa demikian? Woofer pada speaker full range adalah komponen yang menghasilkan suara rendah. Pada umumnya sasaran utama sound sistem yang kita set adalah menghasilkan suara vokal yang terdengar jelas dan tebal. Coba perhatikan apa yang terjadi apabila polaritas woofer speaker full range kita balikkan? Apa yang akan terjadi? Suara vokal yang akan paling banyak terpengaruhi adalah suara vokal laki-laki. Suara vokal laki-laki akan terdengar kurang tebal, ini sebagai akibat fasa pada suara rendah menjadi terbalik. Akibatnya adalah telinga kita dipaksa mendengarkan suara yang dihasilkan woofer speaker full range sececara terbalik, inilah yang membuat suara rendah vokal laki-laki menjadi terdengar tipis. Mengapa demikian? Ini perlu penjelasan panjang lebar, penulis akan menuliskannya di lain kesempatan.
Bagaimana caranya untuk mengetahui posisi polaritas sebuah komponen? Untuk mengetahui polaritas dengan mudah dan cepat, gunakanlah alat pengecek polaritas (polarity checker). Alat ini akan memberikan tanda hijau apabila daun woofer tersebut bergerak maju.
Catatan Penting :Perhatikan polaritas konektor XLR dari setiap alat yang anda rangkai, apakah mixer, power, dan lain-lain, termasuk polaritas tone generator dari alat pengecek polaritas. Alat-alat sound system pada saat ini telah megacu kepada penggunaan pin nomor 2 sebagai kutub +, sedangkan alat-alat sound system sebelum peraturan ini dikeluarkan menggunakan pin nomor 3 sebagai kutub + pada konektor XLR-nya. Jangan lupa untuk mengecek polaritas konektor XLR pada tone generator dari alat pengecek polaritas.
Cara lainnya untuk mengecek polaritas woofer adalah dengan menggunakan baterai 9 volt, akan tetapi cara ini akan sangat menyulitkan. Karena untuk melihat pergerakkan daun woofer dengan mata kita akan sangat sulit, apakah woofer yang kita cek daunnya bergerak maju atau bergerak mundur.
Berlatih Mendengarkan Penggabungan Suara Yang Benar
Proses selanjutnya adalah anda hanya perlu mendengarkan suara yang dihasilkan dari penggabungan antara suara subwoofer dan speaker full range. Apabila suara rendah bertambah (summing), atau mungkin juga frekuensi respon tetap dalam kondisi flat (tanpa penambahan atau pengurangan). Dapat dikatakan subwoofer sudah dalam posisi polaritas yang benar dengan speaker full range. Namun jika polaritas subwoofer berada pada posisi yang salah, maka suara rendah akan terdengar tertekan (canceling) pada frekuensi tertentu. Tentu saja cara ini memerlukan kepekaan telinga anda, dan anda harus melatih telinga anda untuk mendengarkan fenomena yang terjadi ini. Apabila anda memiliki RTA (real time analyzer), maka melalui RTA, anda akan dapat melihat apa yang terjadi dengan lebih jelas.
Suara yang bagaimanakah sebenarnya yang kita cari? Tentu saja kita harus mendapatkan suara yang semakin bertambah (summing), atau justru malah yang saling menghilangkan (canceling) antara subwoofer dan suara rendah yang dihasilkan oleh speaker full range. Pada frekuensi berapa penambahan ini akan terjadi? Efek ini pada umumnya terjadi tidak jauh dari area di sekitar titik perpotongan frekuensi yang telah kita pilih. Sebagai contoh, apabila anda menaruh titik perpotongan frekuensi pada frekuensi 100 Hz, maka efek saling menambah akan berada pada frekuensi setelah 100 Hz, demikian pula apabila kita balik polaritas dari subwoofer maka efek saling menghilangkan akan juga timbul pada frekuensi setelah 100 Hz. Perhatikan Gambar B. tidak terjadi efek saling menghilangkan pada rentang frekuensi rendah setelah titik perpotongan frekuensi pada frekuensi 90 Hz.
Efek saling menghilangkan atau penambahan pada frekuensi rendah, justru terjadi tidak pada rentang frekuensi subwoofer (yang berada di bawah titik perpotongan frekuensi). Gangguan ini justru terjadi pada rentang frekuensi rendah dari speaker full range. Mengapa demikian? Energi subwoofer umumnya lebih besar dari pada energi speaker full range, sehingga sangat jarang sekali area rentang frekuensi subwoofer yang terpengaruh, kecuali subwoofer dan speaker full range berada pda tingkat kekuatan yang sama. Kemungkinan lainnya adalah disebabkan karena distorsi harmonik yang timbul dari suara subwoofer itu sendiri yang mengakibatkan efek saling menghilangkan pada rentang frekuensi rendah yang berada pada rentang frekuensi rendah speaker full range.
Saling Menambahkan
Suara hentakan yang kita dengar, terdapat di antara frekuensi 100 Hz hingga 125 Hz. Frekuensi ini dihasilkan baik oleh subwoofer, maupun speaker full range. Hanya saja apabila terjadi efek saling menghilangkan terjadi pada frekuensi ini maka suara hentakan akan tenggelam oleh frekuensi lainnya yang terdengar lebih menonjol. Ini disebabkan karena energi subwoofer lebih besar dari energi suara rendah speaker full range, efek saling menghilangkan (canceling) justru terjadi di antara rentang frekuensi tersebut.
Besar harapan penulis apa yang harusnya menjadi dasar pemasangan subwoofer dapat kita pahami sekarang, bahwa suara hentakan tidak hanya bersumber dari suara subwoofer saja. Melainkan berasal dari penggabungan antara suara yang dihasilkan oleh subwoofer dan suara rendah yang dihasilkan oleh speaker full range. Polaritas memainkan peranan penting dalam menghasilkan suara hentakan, kesalahan pada polaritas dapat mengakibatkan hilangnya suara favorit kita ini..
Pages
MEMBELI PERLATAN SOUND SYSTEM
MENGAPA GEREJA HARUS MEMBELI SOUND SYSTEM BEBERAPA KALI?
Keluhan ini seringkali diungkapkan oleh pengurus gereja atau bahkan pemain musik maupun soundman. Banyak pengurus gereja yang bingung, bagaimana harus menyelsaikan masalah yang mereka hadapi, mereka sudah menuruti berbagai saran, namun tetap saja masalah ada pada mereka. Lalu siapa yang harus mereka percaya untuk dapat menjadi penyelamat telinga mereka di dalam gereja?
Kasus yang lebih umum lagi adalah terjadinya tuding menuding di antara soundman dan musisi, bahkan yang lebih parah atara panitia pembangunan gereja dengan majelis atau gembala. Soal apa yang mereka ributkan? Antara panitia pembangunan dan pengurus umumnya disebabkan karena tidak adanya dana untuk akustik gedung sehingga mengakibatkan gedung bergema. Atara soundman dan musisi gereja atau pelayan mimbar adalah lebih disebabkan karena pemain musik merasa tidak mendengar suara alat musiknya dan terus menaikkan volume suara instrumennya.
Kasus-kasus inilah yang membuat banyak perpecahan atara pihak-pihak yang terlibat langsung menangani kasus-kasus ini, namun seringkali mereka datang pada orang yang tidak mengerti harus berbuat apa sebenarnya. Contoh kasus pada foto sebelah ini adalah GBI KCT di Serpong Jakarta, sebelum kami set dengan benar, gereja ini sudah membeli perlatan dari toko dan memasangnya sendiri, namun tidak pernah bersuara dengan benar. Seperti pada umumnya yang terjadi adalah saling menyalahkan antara pelayan mimbar dan soundman. Apa yang menjadi penyebabanya? Mengapa hal ini bisa terjadi?
Sebuah gereja di Salatiga yang meminta saya untuk melihat sound system yang mereka miliki selama beberapa tahun dan tidak pernah terdengar suaranya benar. "Pak Emir bisa datang mengeset sound gereja kami? Tetapi gereja kami tanpa peredam di dalamnya lho...". Dengan rasa penasaran saya datangi gereja tersebut, Gereja Pantekosta Efrata Salatiga namanya. Gereja ini sebenarnya sudah memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mengeset sound dengan benar. Namun sudah 4 orang yang datang untuk mengeset gereja ini dan sudah lebih dari 3 kali mereka membeli peralatan sound system, tetapi tetap saja masalah yang ada tidak selesai dengan benar. Sebenarnya apa yang menjadi masalah dalam gereja ini? Memang pada saat saya cek suara bergaung lebih dari 3 detik, bagaimana saya bia mengatasinya? tentu saja tidak mungkin tanpa akustik?
Pertanyaan yang sama dengan semua orang sebelumnya saya lontarkan.. ke mana peredam akustiknya? Jawabannya adalah selalu juga menjadi jawaban yang klasik.. kami belum mampu memasangnya.. waduh... Apa yang harus saya lakukan? Saya teringat dengan satu teknik mengetes gema ruangan, 1 orang tepuk tangan dalam gedung bergema sekalipun akan tetap terdengar 1, hanya saja dengan suara ekor beberapa detik kemudian dari tepukan tangan tersebut. Speaker telah berada pada posisi seperti pada gambar di sebelah ini, manajemen speaker pun sudah ada, saya buka dan kemudian saya keluarkan komputer saya dan mulai mengetes. Ternyata banyak parameter yang salah, saya mencoba mengesetnya, namun suara yang jernih dan jelas masih belum kami dapatkan.
Staff saya melihat sesuatu yang janggal, "Pak kabelnya ternyata kabel murah dari berbagai merek..", segera saja saya katakan untuk ia menggantinya dan menyamakan panjangnya. Saya tinggalkan staff saya untuk mengganti dan menyakan panjang kabel untuk membeli makan siang. Setelah makan siang dan kami merasa lebih segar, kami tes ulang dengan membuat speaker utama di depan sebagai acuan, kemudian speaker yang berada di tengah ruangan kami delay ke depan dan speaker yang berada di belakang ke depan, demikian juga speaker yang berada di atas balkon. Saya EQ satu persatu sehingga orang yang berjalan dari depan ke belakang tidak merasa ada perubahan suara atau suara seperti dipelintir.
Ternyata setelah kami set ulang, suara menjadi lebih fokus ke tengah mimbar dan tidak lagi terasa berasal dari speaker. Seolah suara yang bergaung (susul menyusul) menjadi berkurang, namun ekor gaung yang 3 detik lebih tadi tetap ada. Tetapi suara yang dihasilkan speaker dapat di dengar dengan baik, di banding sebelumnya dengan delay dan parameter EQ yang sangat tidak tepat.
Inilah yang sering terlontar dari gereja yang membeli sound "bermasalah" mereka banyak bersembunyi di balik merek terkenal, dengan harapan merek terkenal akan menyelesaikan masalah mereka, tentu saja ini adalah harapan yang hampa. Banyak gereja terjebak dengan merek, dan menyangka bahwa sound itu mudah, tinggal sambungkan dan bunyi. Dahulu memang demikian, namun jaman telah berubah, tuntutan jemaat untuk berbakti dengan mendedikasikan hatinya hanya untuk Tuhan menjadi priorita utama. Sayang jemaat saat ini sudah tercemar telinganya dengan teknologi dan suara yang nyaman di dengar.
Banyak saya jumpai si merek terkenal ini ternyata di pasang begitu saja tanpa memikirkan bahwa inti dari pada ibadah di dalam gereja adalah kehadiran Tuhan di tengah-tengah jemaat. Apa yang terjadi, bukanlah terasa hadirat Tuhan, namun yang ada adalah suara bising speaker bersahutan.
Pada gambar di sebelah ini adalah Gereja Katholik Pandu Bandung, yang sudah terpasang speaker merek Turbosound dan Tannoy, tetapi manajemen speaker yang mereka punya hanya dbx Driverack PA yang delaynya sangat pendek dan tidak mencukupi. Saya ganti manajemen speakernya dengan dbx Driverack 260 yang delaynya jauh lebih panjang, cukup untuk mendelay antara 2 buah speaker dengan jarak yang jauh.
Seperti biasanya kami mendelay speaker bagian belakang gedung, sehingga seolah suaranya datang dari arah depan. Dalam liturgi Katholik semua urutan dalam tata cara ibadah harus berpusat pada altar, kecuali pada saat jalan salib, demikian juga dengan perhatian umat harus tertuju npada altar. Setelah kami set delay dan EQ dengan benar maka suara yang bersusul-susulan menjadi seolah datang dari altar yang menjadi inti dari pada liturgi ibadah umat Katholik.
Kasus yang lebih umum lagi adalah terjadinya tuding menuding di antara soundman dan musisi, bahkan yang lebih parah atara panitia pembangunan gereja dengan majelis atau gembala. Soal apa yang mereka ributkan? Antara panitia pembangunan dan pengurus umumnya disebabkan karena tidak adanya dana untuk akustik gedung sehingga mengakibatkan gedung bergema. Atara soundman dan musisi gereja atau pelayan mimbar adalah lebih disebabkan karena pemain musik merasa tidak mendengar suara alat musiknya dan terus menaikkan volume suara instrumennya.
Kasus-kasus inilah yang membuat banyak perpecahan atara pihak-pihak yang terlibat langsung menangani kasus-kasus ini, namun seringkali mereka datang pada orang yang tidak mengerti harus berbuat apa sebenarnya. Contoh kasus pada foto sebelah ini adalah GBI KCT di Serpong Jakarta, sebelum kami set dengan benar, gereja ini sudah membeli perlatan dari toko dan memasangnya sendiri, namun tidak pernah bersuara dengan benar. Seperti pada umumnya yang terjadi adalah saling menyalahkan antara pelayan mimbar dan soundman. Apa yang menjadi penyebabanya? Mengapa hal ini bisa terjadi?
Sebuah gereja di Salatiga yang meminta saya untuk melihat sound system yang mereka miliki selama beberapa tahun dan tidak pernah terdengar suaranya benar. "Pak Emir bisa datang mengeset sound gereja kami? Tetapi gereja kami tanpa peredam di dalamnya lho...". Dengan rasa penasaran saya datangi gereja tersebut, Gereja Pantekosta Efrata Salatiga namanya. Gereja ini sebenarnya sudah memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mengeset sound dengan benar. Namun sudah 4 orang yang datang untuk mengeset gereja ini dan sudah lebih dari 3 kali mereka membeli peralatan sound system, tetapi tetap saja masalah yang ada tidak selesai dengan benar. Sebenarnya apa yang menjadi masalah dalam gereja ini? Memang pada saat saya cek suara bergaung lebih dari 3 detik, bagaimana saya bia mengatasinya? tentu saja tidak mungkin tanpa akustik?
Pertanyaan yang sama dengan semua orang sebelumnya saya lontarkan.. ke mana peredam akustiknya? Jawabannya adalah selalu juga menjadi jawaban yang klasik.. kami belum mampu memasangnya.. waduh... Apa yang harus saya lakukan? Saya teringat dengan satu teknik mengetes gema ruangan, 1 orang tepuk tangan dalam gedung bergema sekalipun akan tetap terdengar 1, hanya saja dengan suara ekor beberapa detik kemudian dari tepukan tangan tersebut. Speaker telah berada pada posisi seperti pada gambar di sebelah ini, manajemen speaker pun sudah ada, saya buka dan kemudian saya keluarkan komputer saya dan mulai mengetes. Ternyata banyak parameter yang salah, saya mencoba mengesetnya, namun suara yang jernih dan jelas masih belum kami dapatkan.
Staff saya melihat sesuatu yang janggal, "Pak kabelnya ternyata kabel murah dari berbagai merek..", segera saja saya katakan untuk ia menggantinya dan menyamakan panjangnya. Saya tinggalkan staff saya untuk mengganti dan menyakan panjang kabel untuk membeli makan siang. Setelah makan siang dan kami merasa lebih segar, kami tes ulang dengan membuat speaker utama di depan sebagai acuan, kemudian speaker yang berada di tengah ruangan kami delay ke depan dan speaker yang berada di belakang ke depan, demikian juga speaker yang berada di atas balkon. Saya EQ satu persatu sehingga orang yang berjalan dari depan ke belakang tidak merasa ada perubahan suara atau suara seperti dipelintir.
Ternyata setelah kami set ulang, suara menjadi lebih fokus ke tengah mimbar dan tidak lagi terasa berasal dari speaker. Seolah suara yang bergaung (susul menyusul) menjadi berkurang, namun ekor gaung yang 3 detik lebih tadi tetap ada. Tetapi suara yang dihasilkan speaker dapat di dengar dengan baik, di banding sebelumnya dengan delay dan parameter EQ yang sangat tidak tepat.
Inilah yang sering terlontar dari gereja yang membeli sound "bermasalah" mereka banyak bersembunyi di balik merek terkenal, dengan harapan merek terkenal akan menyelesaikan masalah mereka, tentu saja ini adalah harapan yang hampa. Banyak gereja terjebak dengan merek, dan menyangka bahwa sound itu mudah, tinggal sambungkan dan bunyi. Dahulu memang demikian, namun jaman telah berubah, tuntutan jemaat untuk berbakti dengan mendedikasikan hatinya hanya untuk Tuhan menjadi priorita utama. Sayang jemaat saat ini sudah tercemar telinganya dengan teknologi dan suara yang nyaman di dengar.
Banyak saya jumpai si merek terkenal ini ternyata di pasang begitu saja tanpa memikirkan bahwa inti dari pada ibadah di dalam gereja adalah kehadiran Tuhan di tengah-tengah jemaat. Apa yang terjadi, bukanlah terasa hadirat Tuhan, namun yang ada adalah suara bising speaker bersahutan.
Pada gambar di sebelah ini adalah Gereja Katholik Pandu Bandung, yang sudah terpasang speaker merek Turbosound dan Tannoy, tetapi manajemen speaker yang mereka punya hanya dbx Driverack PA yang delaynya sangat pendek dan tidak mencukupi. Saya ganti manajemen speakernya dengan dbx Driverack 260 yang delaynya jauh lebih panjang, cukup untuk mendelay antara 2 buah speaker dengan jarak yang jauh.
Seperti biasanya kami mendelay speaker bagian belakang gedung, sehingga seolah suaranya datang dari arah depan. Dalam liturgi Katholik semua urutan dalam tata cara ibadah harus berpusat pada altar, kecuali pada saat jalan salib, demikian juga dengan perhatian umat harus tertuju npada altar. Setelah kami set delay dan EQ dengan benar maka suara yang bersusul-susulan menjadi seolah datang dari altar yang menjadi inti dari pada liturgi ibadah umat Katholik.
Bagaimana jika sound system di gereja anda sudah ada dan tidak pernah benar suaranya? Sebenarnya apa yang diperlukan untuk memeprbaikinya? Saat ini teknologi sudah maju, suara bisa disetir melalui loudspeaker manajemen, alat ini berupa alat digital yang kita bisa set dan kunci dengan password. Dalam alat ini tercakup semua yang kita perlukan untuk mengeset atau mengakali suara. Saya sarankan untuk tidak membeli equalizer ataupun crossover analog, karena akan banyak tangan yang memainkannya, sehingga akan merugikan banyak pihak. Mulai dari pertengkaran antara soundman dan musisi, soundman dengan pengurus dan bahkan dengan gembala. Karena akan mudah sekali orang mengganggu set alat ini.
System pemasangan audio di Gereja
Banyak orang pergi beribadah ke gereja tanpa menyadari esensi dari ibadah di dalam gereja itu sendiri. Menyembah, memuliakan Tuhan dan mendengarkan pesan Tuhan melalui hambaNya adalah esensi yang utama dari ibadah itu sendiri, disamping merasakan kedekatan dengan Tuhan di dalam rumahNya. Liturgi dalam gereja selalu diawali dengan pujian dan penyembahan, dengan berbagai macam instrumen pengiring, mulai dari organ hingga alat musik tradisional. Setelah pujian dan penyembahan akan di sambung dengan pesan pemimpin gereja atau khotbah, dan diakhiri dengan penutup. Semua ini berlangsung pada satu tempat yaitu mimbar atau untuk agama Katholik disebut dengan altar.
Sudah barang tentu sepanjang ibadah berlangsung maka fokus dari seluruh jemaat atau umat mengarah ke satu tempat yaitu ke arah mimbar di mana semua tata cara ibadah berlangsung. Di dalam kitab perjanjian lama banyak dituliskan menganai tata letak dari kemah suci dan bait Allah, dan sudah diatur tempat di mana Imam Besar dapat masuk dan batas di mana umat Israel berada.
Yang menarik untuk diperhatikan adalah dalam Daniel 6 : 10, Daniel berdoa sambil membuka jendela ke arah ke Yerusalem, mengapa Daniel melakukan ini? Ia ingin memfokuskan diri, secara hati, pikiran dan fisiknya untuk tujuan utamanya, yaitu berdoa untuk bangsanya dan kota Yerusalem. Didalam Kitab Keluaran banyak dibahas soal aturan pembangunan kemah suci, inilah yang menjadi awal konsep dari pada ibadah Kristiani, Mesbah di mana tepat suci bagi imam untuk mempesembahkan korban bakaran, mesbah ini yang menjadi fokus dalam ibadah Bangsa Israel. Demikian pula dengan gereja modern pada saat ini, pada saat ibadah berlangsung dapat dipastikan kita duduk mengarah ke arah mimbar, dan bukan hanya sekedar bermaksud memposisikan diri ke arah mimbar, melainkan juga mengarahkan hati dan pikiran kepada Tuhan..
Gereja modern saat ini menggunakan alat bantu dalam bentuk sound system dan multi media dalam peribadatan. Namun sayang, sering kali justru alat bantu ini malah mengganggu fokus jemaat ke arah mimbar. Manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh, ketiganya ini harus bersatu pada saat kita beribadah. Apa yang kita pergunakan untuk memahami apa yang dipresentasikan oleh alat bantu peribadatan tadi, panca indera.
Suara yang dihasilkan sound system akan ditangkap telinga yang sebagai bagian dari panca indera yang digunakan untuk mendengar suara. Seringkali suara sound system yang terdengar di dalam gereja terdengar bising, bergaung (dengan alasan akustik yang buruk), atau bahkan terdengar dari belakang kepala jemaat. Mengapa demikian?
Banyak orang memasang speaker dengan cara mudah saja, dengan menggunakan tiang kaki tiga ataupun bracket untuk tembok. Penempatan di mana saja yang dirasa kurang, bahkan di belakang dekat dengan jajaran kursi paling belakang. Penempatan dengan bracket pada dinding, akan mengakibatkan bagian tengah menjadi terasa kosong, dan ada suara yang dipantulkan oleh dinding. Penempatan speaker dengan menggunakan tiang kaki tiga, menimbulkan masalah lainnya, seperti suara yang banyak dipantulkan oleh plafon, sehingga kembali ke arah jemaat seperti gaung kesannya. Tempat untuk kedudukan kaki tiga juga membuat masalah, karena memakan ruang dan berbahaya jika tertarik kabel speakernya dapat roboh. Masalah lainnya dari kedua cara ini adalah, ketika jemaat yang duduk dibagian belakang merasa kurang mendengar, maka akan ada permintaan untuk menaikkan volume suara. Ke arah bagaian belakang tentu saja dirasakan cukup, tetapi di bagian depan menjadi terlalu keras dan bising. Seperti sudah kita ungkapkan di atas sebelumnya bahwa maslaah gangguan pendengaran di dalam gereja adalah gaung, bising, dan suara yang tidak fokus.
Lalu harus bagaimana? Kita harus menggantungnya di tengah jajaran kursi, sehingga pas membagi jajaran kursi ke arah kiri dan kanannya. Dengan menggantung speaker dan mengarahkannya ke arah jemaat, kita sudah menjadikan jemaat sebagai bahan akustik dan ini mengurangi energi yang terbuang ke arah di mana tidak ada jemaat, seperti dinding dan plafon. Kedua bagaimana kalau gedung terlalu panjang, pasti suara speaker yang kita gantung akan kurang terdengar, satu-satunya cara adalah menambahkan speaker di area yang mulai dirasakan speaker utama yang tergantung di depan telah dirasakan agak berkurang.
Pada bagian lain dari blog ini telah disingung soal gaung di dalam gedung gereja, memang dapat dikurangi oleh pengukuran dengan menggunakan komputer. Namun tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, kemudian suasana ruang (ambience) tetap diperlukan, mengingat salah satu bagian dari desain gereja tradisional adalah adanya gaung ruangan yang menimbulkan kesan megah, memang ini disebabkan karena pada saat desain gedung tersebut dibuat masih mengandalkan suara tanpa pengeras suara. Memang gaung dalam gedung gereja yang berlebihan tidak kita inginkan, tetapi kita juga tidak ingin merasa beribadah di dalam sebuah kotak kecil, melainkan di dalam "ruang". Oleh karena itu kita harus mengakali letak speaker agar tetap membuat jemaat fokus ke arah mimbar dan mengukur gaung yang terjadi di dalam ruangan setelah ada speaker.
Gereja modern memang suadah tidak lagi mengandalkan bagunan yang tinggi dan megah, melainkan lebih kepada bangunan sederhana untuk fungsi ibadah. Dengan adanya alat bantu di dalam gereja modern, bertujuan untuk mendekatkan mimbar kepada jemaat, bahkan ada beberapa gereja yang membuat mimbarnya berada di tengah jemaat. Saya pada saat memasang instalasi sound system untuk gereja Katholik di Lampung sempat berbincang dengan seorang romo, lalu saya bertanya, mengapa gereja katholik yang sedang dibangun ini tidak berbentuk seperti salib, seperti pada umumnya gereja Katholik yang dibangun sebelumnya. Kemudian beliau menjawab, gereja Katholik yang baru dibangung saat ini banyak mengubah bentuk gereja dari bentuk seperti salib, menjadi bentuk segi 8 atau 6. Hal ini bertujuan untuk mendekatkan jarak altar dengan umat, sehingga romo atau pastur tidak berjarak dengan umat, melainkan dekat dengan umat, kesan inilah yang ingin ditimbulkan dengan membuat gedung berbentuk segi 8 atau segi 6.
Langganan:
Postingan (Atom)